Salaf secara bahasa arab artinya ‘setiap amalan shalih yang
telah lalu; segala sesuatu yang terdahulu; setiap orang yang telah
mendahuluimu, yaitu nenek moyang atau kerabat’ (Lihat Qomus Al Muhith, Fairuz
Abadi). Secara istilah, yang dimaksud salaf adalah 3 generasi awal umat Islam
yang merupakan generasi terbaik, seperti yang disebutkan oleh Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam, “Sebaik-baik umat adalah generasiku, kemudian
sesudahnya, kemudian sesudahnya” (HR. Bukhari-Muslim)
Tiga generasi yang dimaksud adalah generasi Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat, generasi tabi’in dan generasi
tabi’ut tabi’in. Sering disebut juga generasi Salafus Shalih. Tidak ada yang
meragukan bahwa merekalah orang-orang yang paling memahami Islam yang diajarkan
oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Maka bila kita ingin memahami
Islam dengan benar, tentunya kita merujuk pada pemahaman orang-orang yang ada
pada 3 generasi tersebut. Seorang sahabat yang mulia, Ibnu Mas’ud
radhiallahu’anhu berkata, “Seseorang yang mencari teladan, hendaknya ia
meneladani para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam karena mereka
adalah orang-orang yang paling mulia hatinya, paling mendalam ilmunya, paling
sedikit takalluf-nya, paling benar bimbingannya, paling baik keadaannya, mereka
adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi sahabat Nabi-Nya, dan
untuk menegakkan agamanya. Kenalilah keutamaan mereka. Ikutilah jalan hidup
mereka karena sungguh mereka berada pada jalan yang lurus.” (Lihat Limaadza
Ikhtartu Al Manhaj As Salafi Faqot, Salim bin ‘Ied Al Hilaly)
Kemudian dalam bahasa arab, ada yang dinamakan dengan isim
nisbah, yaitu isim (kata benda) yang ditambahkan huruf ‘ya’ yang di-tasydid dan
di-kasroh, untuk menunjukkan penisbatan (penyandaran) terhadap suku, negara
asal, suatu ajaran agama, hasil produksi atau sebuah sifat (Lihat Mulakhos
Qowaid Al Lughoh Ar Rabiyyah, Fuad Ni’mah). Misalnya yang sering kita dengar
seperti ulama hadits terkemuka Al-Bukhari, yang merupakan nisbah kepada kota
Bukhara (nama kota di Uzbekistan) karena Imam Al-Bukhari memang berasal dari
sana. Ada juga yang menggunakan istilah Al-Hanafi, berarti menisbahkan diri
pada madzhab Hanafi. Maka dari sini dapat dipahami bahwa Salafi maksudnya
adalah orang-orang yang menisbatkan (menyandarkan) diri kepada generasi Salafus
Shalih. Atau dengan kata lain “Salafi adalah mengikuti pemahaman dan cara
beragama para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan orang-orang
yang mengikuti jalan mereka”. (Lihat Kun Salafiyyan ‘Alal Jaddah, hal. 10)
Sehingga dengan penjelasan ini jelaslah bahwa orang yang
beragama dengan mengambil sumber ajaran Islam dari 3 generasi awal umat Islam
tadi, DENGAN SENDIRINYA ia seorang Salafi. Tanpa harus mendaftar, tanpa
berbai’at, tanpa iuran anggota, tanpa kartu anggota, tanpa harus ikut pengajian
tertentu, tanpa harus mengaji pada ustadz tertentu dan tanpa harus memakai
busana khas tertentu. Maka Anda yang sedang membaca artikel ini pun seorang
Salafi bila anda selama ini mencontoh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
dan para sahabatnya dalam beragama.
Jika pembaca sekalian memahami penjelasan di atas, maka
seharusnya telah jelas bahwa dakwah salafiyyah adalah Islam itu sendiri. Dakwah
Salafiyyah adalah Islam yang hakiki. Mengapa? Karena dari manakah kita
mengambil sumber pemahaman Al Qur’an dan hadits selain dari para sahabat
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam? Apakah ada sumber lain yang lebih
terpercaya? Apakah Islam dipahami dengan selera dan pemahaman masing-masing
orang? Bahkan jika seseorang dalam memahami Al Qur’an dan hadits mengambil
sumber dari yang lain, maka dapat dipastikan ia telah mengambil jalan yang
salah. Syaikh Salim Bin ‘Ied Al Hilaly setelah menjelaskan surat An Nisa ayat
115 berkata, “Dengan ayat ini jelaslah bahwa mengikuti jalan kaum mu’minin
adalah jalan keselamatan. Dan ayat ini dalil bahwa pemahaman para sahabat
mengenai agama Islam adalah hujjah terhadap pemahaman yang lain. Orang yang
mengambil pemahaman selain pemahaman para sahabat, berarti ia telah mengalami
penyimpangan, menapaki jalan yang sempit lagi menyengsarakan, dan cukup baginya
neraka Jahannam yang merupakan seburuk-buruk tempat tinggal.” (Lihat Limaadza
Ikhtartu Al Manhaj As Salafi Faqot, Salim bin ‘Ied Al Hilaly)
Salah Kaprah Tentang Salafi
Di tengah masyarakat, banyak sekali beredar syubhat
(kerancuan) dan kalimat-kalimat miring tentang Salafi. Dan ini tidak lepas dari
dua kemungkinan. Sebagaimana dijelaskan Syaikh ‘Ubaid bin Sulaiman Al Jabiri
ketika ditanya tentang sebuah syubhat, “Kerancuan tentang Salafi yang
berkembang di masyarakat ini tidak lepas dari 2 kemungkinan: Disebabkan
ketidak-pahaman atau disebabkan adanya i’tikad yang buruk. Jika karena tidak
paham, maka perkaranya mudah. Karena seseorang yang tidak paham namun i’tikad
baik, jika dijelaskan padanya kebenaran ia akan menerima, jika telah jelas
baginya kebenaran dengan dalilnya, ia akan menerima. Adapun kemungkinan yang
kedua, pada hakikatnya ini disebabkan oleh fanatik golongan dan taklid buta, -dan
ini yang lebih banyak terjadi- dari orang-orang ahlul ahwa (pengikut hawa
nafsu) dan pelaku bid’ah yang mereka memandang bahwa manhaj salaf akan membuka
tabir penyimpangan mereka.” (Ushul Wa Qowa’id Fii Manhajis Salafi, Syaikh
‘Ubaid bin Sulaiman Al Jabiri )
Dalam kesempatan kali ini akan kita bahas beberapa kerancuan
tersebut.
1. Salafi Bukanlah Sekte, Aliran, Partai atau Organisasi
Massa
Sebagian orang mengira Salafi adalah sebuah sekte, aliran
sebagaimana Jama’ah Tabligh, Ahmadiyah, Naqsabandiyah, LDII, dll. Atau sebuah
organisasi massa sebagaimana NU, Muhammadiyah, PERSIS, Ikhwanul Muslimin,
Hizbut Tahrir, dll. Ini adalah salah kaprah. Salafi bukanlah sekte, aliran,
partai atau organisasi massa, namun salafi adalah manhaj (metode beragama),
sehingga semua orang di seluruh pelosok dunia di manapun dan kapanpun adalah
seorang salafi jika ia beragama Islam dengan manhaj salaf tanpa dibatasi
keanggotaan.
Sebagian orang juga mengira dakwah Salafiyyah adalah gerakan
yang dicetuskan dan didirikan oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab. Ini pun
kesalahan besar! Dijelaskan oleh Syaikh ‘Ubaid yang ringkasnya, “Dakwah
salafiyyah tidak didirikan oleh seorang manusia pun. Bukan oleh Syaikh Muhammad
Bin Abdul Wahab bersama saudaranya Imam Muhammad Bin Su’ud, tidak juga oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya, bukan pula oleh Imam Mazhab
yang empat, bukan pula oleh salah seorang Tabi’in, bukan pula oleh sahabat,
bukan pula oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, dan bukan didirikan oleh
seorang Nabi pun. Melainkan dakwah Salafiyah ini didirikan oleh Allah Ta’ala.
Karena para Nabi dan orang sesudah mereka menyampaikan syariat yang berasal
dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, tidak ada yang dapat dijadikan rujukan
melainkan nash dan ijma” (Lihat Ushul Wa Qowaid Fii Manhajis Salaf)
Oleh karena itu, dalam dakwah salafiyyah tidak ada ketua
umum Salafi, Salafi Cabang Jogja, Salafi Daerah, Tata tertib Salafi, AD ART
Salafi, Alur Kaderisasi Salafi, dan tidak ada muassis (tokoh pendiri) Salafi.
Tidak ada pendiri Salafi melainkan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada AD-ART Salafi
melainkan Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para sahabat.
2. Salafi Gemar Mengkafirkan dan Membid’ahkan?
Musuh utama seorang muslim adalah kekufuran dan kesyirikan,
karena tujuan Allah menciptakan makhluk-Nya agar makhluk-Nya hanya menyembah
Allah semata. Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh kesyirikan adalah kezaliman yang
paling besar” [QS. Luqman: 13]. Setelah itu, musuh kedua terbesar seorang
muslim adalah perkara baru dalam agama, disebut juga bid’ah. Karena jika orang
dibiarkan membuat perkara baru dalam beragama, akan hancurlah Islam karena
adanya peraturan, ketentuan, ritual baru yang dibuat oleh orang-orang
belakangan. Padahal Islam telah sempurna tidak butuh penambahan dan
pengurangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap bid’ah
adalah kesesatan” (HR. Muslim)
Maka tentu tidak bisa disalahkan ketika ada da’i yang secara
intens mendakwahkan tentang bahaya syirik dan bid’ah, mengenalkan bentuk-bentuk
kesyirikan dan kebid’ahan agar umat terhindar darinya. Bahkan inilah bentuk
sayang dan perhatian terhadap umat.
Kemudian, para ulama melarang umat Islam untuk sembarang
memvonis bid’ah, sesat apalagi kafir kepada individu tertentu. Karena vonis
yang demikian bukanlah perkara remeh. Diperlukan timbangan Al Qur’an dan As
Sunnah serta memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama
dalam hal ini. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata, “Dalil-dalil
terkadang menunjukkan bahwa perbuatan tertentu adalah perbuatan kufur, atau
perkataan tertentu adalah perkataan kufur. Namun di sana terdapat faktor yang
membuat kita tidak memberikan vonis kafir kepada individu tertentu (yang
melakukannya). Faktornya banyak, misalnya karena ia tidak tahu, atau karena ia
dikalahkan oleh orang kafir dalam perang.” (Lihat Fitnah At Takfir, Muhammad
Nashiruddin Al Albani)
Dari sini jelaslah bahwa menjelaskan perbuatan tertentu
adalah perbuatan kufur bukan berarti memvonis semua pelakunya itu per individu
pasti kafir. Begitu juga menjelaskan kepada masyarakat bahwa perbuatan tertentu
adalah perbuatan bid’ah bukan berarti memvonis pelakunya pasti ahlul bid’ah.
Syaikh Abdul Latif Alu Syaikh menjelaskan: “Ancaman (dalam dalil-dalil) yang
diberikan terhadap perbuatan dosa besar terkadang tidak bisa menyebabkan
pelakunya per individu terkena ancaman tersebut” (Lihat Ushul Wa Dhawabith Fi
At Takfir, Syaikh Abdul Latif bin Abdurrahman Alu Syaikh).
Bahkan Salafiyyin berada dibarisan terdepan dalam membantah
paham takfir, yaitu gemar mengkafirkan secara serampangan.
3. Salafi Memecah-Belah Ummat?
Untuk menjelaskan permasalahan ini, perlu pembaca ketahui
tentang 3 hal pokok. Pertama, perpecahan umat adalah sesuatu yang tercela.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Berpegang teguhlah pada tali
Allah dan jangan berpecah-belah” (QS. Al-Imran: 103). Kedua, perpecahan umat
adalah suatu hal yang memang dipastikan terjadi dan bahkan sudah terjadi.
Sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, “Umatku
akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka
kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah?
Beliau menjawab: yaitu orang-orang yang berada pada jalanku dan jalannya para
sahabatku di hari ini” [HR. Tirmidzi]. Ketiga, persatuan Islam bukanlah
semata-mata persatuan badan, kumpul bersama, dengan keadaan aqidah yang
berbeda-beda. Mentoleransi segala bentuk penyimpangan, yang penting masih
mengaku Islam. Bukan itu persatuan Islam yang diharapkan. Perhatikan baik-baik
hadits tadi, saat umat Islam berpecah belah seolah-olah Rasulullah
memerintahkan untuk bersatu pada satu jalan, yaitu jalan yang ditempuh oleh
para sahabat, inilah manhaj salaf.
Sehingga ketika ada seorang yang menjelaskan
kesalahan-kesalahan dalam beragama yang dianut sebagian kelompok, aliran,
partai atau ormas Islam, bukanlah upaya untuk memecah belah ummat. Melainkan
sebuah upaya untuk mengajak ummat BERSATU di satu jalan yang disebutkan oleh
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tersebut. Bahkan adanya bermacam
aliran, sekte, partai dan ormas Islam itulah yang menyebabkan perpecahan ummat.
Karena mereka tentu akan loyal kepada tokoh-tokoh mereka masing-masing, loyal
kepada peraturan mereka masing-masing, loyal kepada tradisi mereka
masing-masing, bukan loyal kepada Islam!!
Selain itu, jika ada saudara kita yang terjerumus dalam
kesalahan, siapa lagi yang hendak mengoreksi kalau bukan kita sesama muslim?
Tidak akan kita temukan orang kuffar yang melakukannya. Dan bukankah Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Agama adalah nasehat” (HR. Muslim).
Dan jika koreksi itu benar, bukankah wajib menerimanya dan menghempas jauh
kesombongan? Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Kesombongan
itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
4. Salafi Kasar dan Berakhlak Buruk
Manhaj salaf mengajarkan bahwa setiap muslim wajib berakhlak
mulia. Akhlaq mulia yang paling utama adalah terhadap Allah Ta’ala. Yaitu
dengan menyembah Allah semata dan tidak berbuat kesyirikan serta menjalani apa
yang Ia perintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Kemudian berakhlak mulia
terhadap makhluk Allah. Inilah yang dimaksud dalam hadits Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”
(HR. Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid, 24/333. Di shahihkan oleh Al Albani dalam
Silsilah Ash Shahihah, 45 )
Manhaj salaf menghasung ummat agar bergaul dan bermuamalah
dengan akhlak mulia. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
“Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada. Dan
kerjakan banyak kebaikan setelah engkau terjerumus dalam keburukan hingga
terhapus dosamu. Dan bergaullah terhadap manusia dengan akhlak yang baik” (HR.
Tirmidzi, ia berkata: ‘Hadits in hasan’)
Maka setiap muslim, lebih lagi yang bersemangat untuk
berpegang teguh dengan manhaj salaf, selayaknya berakhlak dengan akhlak yang
mulia.
Oleh karena itu, jika ada sebagian orang yang mengaku
berpegang pada manhaj salaf namun belum berakhlak yang baik, tentu ini tidak
dapat menjadi justifikasi terhadap manhaj salaf. Karena manhaj salah justru
mengajarkan sebaliknya. Dan kita perlu menyadari bahwa tidak mungkin kita
menuntut semua orang yang berpegang pada manhaj salaf harus bebas dari
kesalahan dan dosa. Setiap kita pasti bisa salah dan lupa. Bisa jadi karena
kejahilan ataupun karena doronganhawa nafsu sehingga manusia belum dapat
berakhlak yang baik. Semoga Allah menolong kita agar dapat memupuk akhlak yang
mulia dalam diri kita. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun pernah
berdoa:
“Ya Allah, sebagaimana engkau baguskan rupaku maka
baguskanlah akhlakku” (HR. Al Baihaqi dalam Da’awaat Al Kabir, 2/82.
Dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib, 2657)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menunjukkan kita kepada jalan
yang lurus, yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang diberikan ni’mat,
bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan orang-orang tersesat.
Sumber : UstadzKholid.Com
0 komentar on Pemahaman Masyarakat Awam Yang Salah Kaprah Tentang Salafi :
Posting Komentar